Ngomong-ngomong
soal Babachtiaran, pasti selalu menyenangkan. Apalagi dengan adik-adik baru
yang belum punya nama. Aku menjadi sangat bersemangat. Karena bosan dan ingin
menanggalkan sejenak cerita-cerita ketinggian, maka Curug sengaja dipilih
menjadi tujuan perjalanan. Ditemani A Gelar dan Wa Elfa sebagai pemandu,
berangkatlah kami menuju Katumbiri, Komplek Villa di daerah Parongpong, Kab
Bandung Barat. Selepas isya kami tiba di Camp, sebuah Lapangan Tenis di salah
satu sudut Komplek. Setelah Camp berdiri, dan Briefing untuk kegiatan esok hari
usai dilaksanakan, kami pun istirahat.
Tim Pemandu!
*
Rencana
berangkat sepagi mungkin menjadi molor karena beberapa alasan. Menjelang siang
barulah kami beranjak. Tim dibagi 2 dengan nama tim yang sudah disepakati
sebelumnya, tujuannya agar memudahkan kami dalam melakukan komunikasi Radio.
Satu tim dipandu A Gelar, berangkat dari arah hulu Curug karena mau masang
jalur rappeling. Dan aku kebagian tim yang dipandu Wa Elfa, menyusur dari hilir
dan mencari data lapangan. Setelah berteriak eeeeeeeJANTERA! Kami pun berangkat
dengan jalur masing-masing.
**
Tak
heran Curug Lalay jarang diketahui orang sekaligus jarang dikunjungi. Apa yang
menyebabkannya adalah letak yang kurang strategis dan medan yang sulit dilalui.
Terbukti Agus yang pakai sendal menjadi lecet kakinya. Jangan menjadi condet!
Apapun alasannya.
Menurut
perhitungan, yang mudah-mudahan benar, kami harus sampai 13 kali menyebrang
sungai untuk mencapai kaki Curug. Relief sungai yang berkelok membuat sempadan
sungai selalu berpindah, kadang di kiri kadang di kanan. Musim hujan yang
sedang di puncak denyutnya juga membuat debit air besar, dan arus sungai
menjadi sukar untuk dilalui. Ereptep atau daun pulus, menjadi persoalan lain
yang membayangi kami selama perjalanan. Beberapa orang termasuk aku, terkena
sengatannya. Rasanya gatal dan peureus!
kemudian, seperti ditusuk-tusuk jarum, pokoknya tidak enak!. Bahkan katanya,
rasa peureusnya cukup awet dan akan
terasa hingga satu atau dua hari.
Menyebrang Sungai
Hampir
2 jam kami berjerih payah dengan medan sulit, ereptep yang selalu menghantui, dan arus sungai yang bisa
menghanyutkan kapan saja. Akhirnya bibir Curug mulai terlihat dan bau Guano mulai tercium. Dari sini, sekitar
250 meter dari kaki Curug, ada undakan agak landai yang dicurigai sebagai lidah lava, kata A Gelar!. Namun ia
sedikit ragu, tanyakan saja pada Kang Bach atau Pak Budi, katanya. Oke Om Gege!.
Semakin dekat ke kaki kaki Curug, bau Guano
semakin menyengat sepadan dengan Lalay (Sunda:Kelelawar) yang semakin banyak
jumlahnya.
Butiran
embun menerpa tubuh ketika sampai di kaki Curug. Wajar saja, jatuhan Air yang
turun dari ketinggian ±30 meter tentu mampu menciptakan hempasan air yang
lumayan. Jangan lupa juga soal Lalay tadi. Wah jumlahnya sangat banyak,
mendiami atap ceruk persis di sisi kiri Curug. Ada yang hanya hinggap, namun
banyak juga yang beterbangan entah mencari apa. Guano mengendap begitu saja di
lantai ceruk, persis seperti situasi dalam Gua. Suasana terasa sangat kaya. Aku
seperti melakukan kunjungan Curug sekaligus Caving dalam waktu bersamaan.
***
Kami
jadi tahu seperti apa rupa Curug Lalay itu. Mungkin kami termasuk orang-orang
beruntung, karena memiliki kesempatan berhadapan dengan Curug Lalay yang jarang
diketahui orang. Lalu kami akan merasa bangga, meskipun bukan catatan prestis
ketinggian, tebing terjal maupun lorong gua terdalam. Yang jelas, kami bangga
karena (mudah-mudahan) bukan merupakan bagian dari segelintir orang yang tak
tahu akan fenomena alam sekitarnya.
Curug Lalay
No comments:
Post a Comment