Thursday, April 4, 2013

DPR ceria





          Jika dilihat, tak ada yang aneh dengan sebuah taman kecil di depan Fakultas IPS. Layaknya taman biasa, ditumbuhi Pohon Alpuket besar. Namun bagi JANTERA dan mahasiswa Geografi pada umumnya, taman tersebut tak ubahnya sebagai tempat berdiskusi, berkumpul, bermain, atau sekedar ruang tunggu jadwal kuliah selanjutnya. Dan tanpa disadari munculah sebuah penamaan khusus (Toponimisasi): DPR. Filosofinya sederhana, sesuai dengan pohon alpuket yang besar dan rindang = DPR (Dibawah Pohon Rindang).  Sebagian narasumber berpendapat angkatan 2009 yang pertama kali mencetuskannya, sebagian lagi menganggap nama tersebut muncul jauh sebelumnya. Entahlah.
          Bagi mereka-mereka itu, DPR lebih dari sebuah taman. Sekali waktu DPR dijadikan tempat berdiskusi, menunjukkan hakikat keMahasiswaan. Tapi biasanya, diskusi tak berlangsung lama, karena mereka seringkali mentok tentang bahan yang didiskusikan. Sebut saja diskusi tersebut “Diskusi serampangan” karena selalu mengedepankan Ego dan logika pribadi, bukannya teori. Mentoknya diskusi biasanya membuat perut keroncongan. Kalau sudah begitu, fungsi DPR akan berubah lagi: sebagai restoran. Liliwetan lalu makan bareng. peserta liliwetan akan dipungut biaya tiga ribu rupiah. Menu andalannya tentu saja “padang palsu” karena dana yang didapat dari hasil pungli tak mungkin cukup membeli “padang asli”.
          Kalau sedang tak berduit, kadangkala mengamen jadi pilihan. Mereka cari target yang mudah: mahasiswa Geografi juga, atau paling banter Mahasiswa atau Mahasiswi yang sedang motokopi. Entah karena apa, ada saja orang yang rela uangnya dipalak oleh pengamen-pengamen kacangan itu. Kalau tidak uang, satu atau dua batang rokok pun tak jarang mereka dapatkan.
          Apa yang paling sering dilakukan di DPR adalah SRT (Single Rope Tekhnik) yaitu menaiki dan menuruni pohon Alpuket dengan satu tali. Hileud alpuklet yang katanya “jahat”, tak jadi penghalang bagi mereka. Saking seringnya, tak jarang alat dan tali tidak diclean, tidak dicopot dari pohon. Alasannya: karena besok SRT lagi. alat dan tali pun menginap di DPR bersama dengan sebagian orang yang menjaganya dari pencurian. Agar terkesan lebih keren, alat kemping seperti kompor hingga tenda tak lupa mereka bawa.
          Pokoknya banyak deh yang bisa dilakukan di DPR. Bagi mereka, DPR is Amazing. Tempat mereka mengaktualisasi diri. Yang menjadikan Value Living mereka terus berjalan.

SRT

 Bercanda


 'Cafe'

Daripada Lupa

Pertemukan mereka dengan Tebing Pabeasan, agar bisa belajar tentang keberanian dan keteguhan pendirian. Bawa mereka ke lorong-lorong Gua Pawon, agar bisa belajar tentang kekaguman, kesabaran, dan misteri yang menunggu dipecahkan. Biarkan mereka belajar menguasai emosi ketika terbakar terik matahari Pasirlangu. Lalu hadapkan mereka pada keterjalan Burangrang, agar belajar mengukur sebesar apa mereka punya kekuatan. Kabut dan embun pagi di Cisuren barangkali akan mengajari mereka tentang kelembutan sikap. Dan biarkan mereka kedinginan di Situlembang, agar belajar mencari kehangatan. Biarkan mereka kelaparan, agar mampu bersyukur pada Tuhan! Berikan pula sedikit wawasan di bibir kawah Tangkubanparahu yang bau belerang!

Diambil dari pesbuk Mang Oka




Kibarkan Keagungan JANTERA!
di Puncak-Puncak Gunung Tinggi,
di Belantara Rimba yang Lembab,
di Kegelapan Gua yang Senyap,
Diatas Tebing Terjal Berbatu,
Diatas pantai berpasir, atau
Diantara Riak Air yang Dingin.

Disana 'kan Kamu Temui, Ilmu, Tawa, Damai, Juga ..... Rindu!
Viva JANTERA!!!

Diambil dari:
Java-West Nusatenggara Volcan Mountain, JANTERA Expedition '91

Wednesday, April 3, 2013

Kolaborasi Unik di Curug Lalay




Ngomong-ngomong soal Babachtiaran, pasti selalu menyenangkan. Apalagi dengan adik-adik baru yang belum punya nama. Aku menjadi sangat bersemangat. Karena bosan dan ingin menanggalkan sejenak cerita-cerita ketinggian, maka Curug sengaja dipilih menjadi tujuan perjalanan. Ditemani A Gelar dan Wa Elfa sebagai pemandu, berangkatlah kami menuju Katumbiri, Komplek Villa di daerah Parongpong, Kab Bandung Barat. Selepas isya kami tiba di Camp, sebuah Lapangan Tenis di salah satu sudut Komplek. Setelah Camp berdiri, dan Briefing untuk kegiatan esok hari usai dilaksanakan, kami pun istirahat.
 Tim Pemandu!
*
Rencana berangkat sepagi mungkin menjadi molor karena beberapa alasan. Menjelang siang barulah kami beranjak. Tim dibagi 2 dengan nama tim yang sudah disepakati sebelumnya, tujuannya agar memudahkan kami dalam melakukan komunikasi Radio. Satu tim dipandu A Gelar, berangkat dari arah hulu Curug karena mau masang jalur rappeling. Dan aku kebagian tim yang dipandu Wa Elfa, menyusur dari hilir dan mencari data lapangan. Setelah berteriak eeeeeeeJANTERA! Kami pun berangkat dengan jalur masing-masing.
**
Tak heran Curug Lalay jarang diketahui orang sekaligus jarang dikunjungi. Apa yang menyebabkannya adalah letak yang kurang strategis dan medan yang sulit dilalui. Terbukti Agus yang pakai sendal menjadi lecet kakinya. Jangan menjadi condet! Apapun alasannya.
Menurut perhitungan, yang mudah-mudahan benar, kami harus sampai 13 kali menyebrang sungai untuk mencapai kaki Curug. Relief sungai yang berkelok membuat sempadan sungai selalu berpindah, kadang di kiri kadang di kanan. Musim hujan yang sedang di puncak denyutnya juga membuat debit air besar, dan arus sungai menjadi sukar untuk dilalui. Ereptep atau daun pulus, menjadi persoalan lain yang membayangi kami selama perjalanan. Beberapa orang termasuk aku, terkena sengatannya. Rasanya gatal dan peureus! kemudian, seperti ditusuk-tusuk jarum, pokoknya tidak enak!. Bahkan katanya, rasa peureusnya cukup awet dan akan terasa hingga satu atau dua hari.

Menyebrang Sungai


Hampir 2 jam kami berjerih payah dengan medan sulit, ereptep yang selalu menghantui, dan arus sungai yang bisa menghanyutkan kapan saja. Akhirnya bibir Curug mulai terlihat dan bau Guano mulai tercium. Dari sini, sekitar 250 meter dari kaki Curug, ada undakan agak landai yang dicurigai sebagai lidah lava, kata A Gelar!. Namun ia sedikit ragu, tanyakan saja pada Kang Bach atau Pak Budi, katanya. Oke Om Gege!. Semakin dekat ke kaki kaki Curug, bau Guano semakin menyengat sepadan dengan Lalay (Sunda:Kelelawar) yang semakin banyak jumlahnya.
Butiran embun menerpa tubuh ketika sampai di kaki Curug. Wajar saja, jatuhan Air yang turun dari ketinggian ±30 meter tentu mampu menciptakan hempasan air yang lumayan. Jangan lupa juga soal Lalay tadi. Wah jumlahnya sangat banyak, mendiami atap ceruk persis di sisi kiri Curug. Ada yang hanya hinggap, namun banyak juga yang beterbangan entah mencari apa. Guano mengendap begitu saja di lantai ceruk, persis seperti situasi dalam Gua. Suasana terasa sangat kaya. Aku seperti melakukan kunjungan Curug sekaligus Caving dalam waktu bersamaan.
***
Kami jadi tahu seperti apa rupa Curug Lalay itu. Mungkin kami termasuk orang-orang beruntung, karena memiliki kesempatan berhadapan dengan Curug Lalay yang jarang diketahui orang. Lalu kami akan merasa bangga, meskipun bukan catatan prestis ketinggian, tebing terjal maupun lorong gua terdalam. Yang jelas, kami bangga karena (mudah-mudahan) bukan merupakan bagian dari segelintir orang yang tak tahu akan fenomena alam sekitarnya.


Curug Lalay